
Extama – “Hidup ini keras. Lo pikir orang-orang peduli sama lo? Enggak. Kita semua hidup sendiri-sendiri. Lo gagal? Itu masalah lo. Lo sukses? Itu juga buat lo sendiri.” Michael (nama samaran) menghela napas panjang, menatap kosong ke kejauhan. Nada bicaranya datar, nyaris sarkastik, seolah sudah kebal terhadap omong kosong soal empati dan gotong royong.
Michael bukan sekadar bicara kosong. Hidupnya membuktikan itu. Sebagai anak dari keluarga etnis Tionghoa asal Sumatera Utara, ia sejak kecil sudah diajarkan bahwa hidup adalah persaingan, dan uang adalah alat utama untuk bertahan.
Keluarganya pindah ke Serang saat ia berusia 13 tahun. “Gue nggak punya siapa-siapa waktu itu, cuma keluarga. Anak baru, Tionghoa pula, di kota yang isinya beda banget dari kampung gue. Kaget? Jelas. Tapi yang lebih parah, orang-orang udah pasang tembok dari awal.”
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, angka migrasi masuk ke Provinsi Banten mencapai 2,15 per 100 penduduk. Artinya, dari setiap 100 orang di Banten, sekitar dua orang adalah pendatang baru.
Sebagai provinsi yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Banten menjadi tujuan migrasi karena faktor ekonomi dan pendidikan. Namun, angka ini masih lebih rendah dibanding provinsi lain seperti DI Yogyakarta (5,09), Kepulauan Riau (4,75), dan Kalimantan Utara (3,92).
Dalam konteks kisah Michael, perpindahan ke Banten bukan hanya sekadar perubahan alamat, tetapi juga tantangan sosial. Adaptasi bukan hal yang mudah, terutama bagi mereka yang dianggap “berbeda” secara etnis dan budaya.
Perpindahan tersebut membawa konsekuensi sosial, termasuk potensi diskriminasi dan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Biasanya seseorang harus berjuang lebih keras agar bisa diterima oleh masyarakat setempat.
Sehingga ia merasa menjadi minoritas di tengah mayoritas. “Lo nggak pernah ngerasain jadi minoritas, kan? Gue nggak cuma minoritas secara etnis, tapi juga cara berpikir.”
Michael mengalami perundungan sejak SMP. “Awalnya cuma verbal, panggilan rasis, jokes murahan soal mata sipit. Lama-lama, mereka mulai berani. Dorong-dorongan di kantin, barang gue hilang, tugas gue dihancurin. Lo pikir gue lapor guru? Ngapain? Gue tau mereka juga nggak bakal peduli.”
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah panjang. Sejak era kolonial, mereka kerap menjadi sasaran kebijakan diskriminatif. Di era kepresidenan kedua RI, Soeharto, ruang-ruang politik dan kebudayaan etnis Tionghoa dihilangkan. Posisi Etnis Tionghoa di Indonesia menjadi terpojok.
Pada era Orde Baru, diskriminasi semakin terinstitusionalisasi melalui berbagai peraturan yang membatasi praktik budaya dan keagamaan mereka. Salah satu contohnya adalah Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang perayaan tradisi Tionghoa di ruang publik. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong asimilasi total dengan menghapus identitas kultural Tionghoa dari kehidupan publik Indonesia.
Baru pada era Reformasi, upaya untuk menghapus diskriminasi ini mulai dilakukan. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mencabut kebijakan tersebut, memungkinkan komunitas Tionghoa kembali merayakan tradisi dan budayanya secara terbuka.
Namun, segregasi sosial masih terasa hingga kini. “Lo harus dua kali lebih kuat buat dianggap sama kayak orang lain,” kata Michael getir.
Saat masuk kuliah, Michael datang dengan mindset berbeda, mengubah perspektif dan membangun diri. “Gue belajar satu hal, kalau lo nggak bisa jadi bagian dari mereka, lo pastiin mereka takut sama lo.”
Dia mulai “menyerang” lebih dulu. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan sikap. Sinis, tajam, dan tanpa basa-basi. “Lo sok baik ke gue? Gue bakal kasih tatapan ‘ngapain sih lo’. Lo ngajak ngobrol? Gue bakal kasih jawaban pendek. Gue nggak butuh siapa-siapa.”
Ia kerap kali berselisih dengan teman teman sekelasnya, karena mayoritas beranggapan bahwa tidak ada yang mengusiknya terlebih dahulu, namun alih alih karena trauma Michaellah yang merasa mereka tidak akan menghargainnya. Alhasil, Michael hidup dalam kesunyian akibat terkucilkan kembali.
Alih-alih terpuruk, ia memutuskan untuk mengubah cara pandangnya. “Gue sadar, kalo gue terus-terusan ngerasa jadi korban, gue nggak akan maju. Jadi, gue mulai fokus ke hal-hal yang bisa gue kontrol, kayak pendidikan dan skill,” ujarnya.
Keluarganya memainkan peran penting dalam transformasi ini. Mereka menanamkan nilai-nilai kerja keras, kemandirian, dan pentingnya pendidikan. “Nyokap bokap gue selalu bilang, ‘Kita mungkin nggak punya banyak, tapi dengan pendidikan, lo bisa jadi apa aja’,” tambahnya.
Pengalaman hidupnya membentuk pandangan Michael yang unik tentang uang dan inklusivitas. Di satu sisi, ia percaya bahwa uang adalah alat untuk mencapai kemandirian. “Di dunia ini, semuanya butuh duit. Kalo lo nggak punya, lo nggak bisa ngapa-ngapain,” tegasnya.
Namun, di sisi lain, ia juga menyadari pentingnya inklusivitas. “Gue pernah ngerasain gimana rasanya dikucilin ya sekarang juga bisa dibilang gitu sih, tapi gue udah gak peduli. Makanya, sekarang gue selalu berusaha buat nggak ngejudge orang dari luarnya aja,” katanya.
“Gue yakin di luar sana masih banyak orang baik yang tulus, tanpa embel-embel imbalan atau kepentingan,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Namun, ia juga realistis bahwa kepentingan pribadi sering kali mengubah segalanya.
Bagi Michael, dunia berjalan dengan keseimbangan yang sederhana perlakukan orang lain sebagaimana mereka memperlakukanmu. “Pada dasarnya, semua orang itu baik. Kalau aja mereka nggak tergiur sama kepentingan. Tapi ya, gue udah terlanjur kayak gini. Ini karakter gue. Lo baik, gue baik. Kalau nggak? Ya, terserah.”
Menurut Dr. Kenji Yoshino, seorang ahli hukum dan aktivis hak-hak sipil, inklusi sosial berarti menghapus hambatan struktural yang menghalangi seseorang untuk menjadi dirinya sendiri.
Michael, dengan segala sifat sinisnya, tanpa sadar telah menciptakan lingkaran kecil di mana mereka yang ‘terpinggirkan’ dapat merasa memiliki tempat. Pengalaman pribadinya mengajarkannya untuk tidak menilai orang dari penampilan luar saja, dan ia percaya bahwa banyak individu yang pada dasarnya baik tanpa mengharapkan imbalan.
Meskipun pandangannya terhadap dunia dipengaruhi oleh pengalaman diskriminasi, Michael berusaha untuk membangun lingkungan inklusif di sekitarnya, di mana setiap orang diperlakukan dengan adil dan setara.
Ironisnya, meski banyak yang berbicara tentang inklusivitas, praktiknya seringkali berbeda. “Lucu ya, orang-orang teriak soal toleransi, tapi masih banyak yang rasis. Kadang gue mikir, ini semua cuma omong kosong doang,” sindir Michael.
Penelitian dalam E-Journal UPI bertajuk “Kecenderungan Penerimaan Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah Dasar” menunjukkan bahwa meski ada upaya untuk meningkatkan inklusivitas, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Misalnya, dalam konteks pendidikan inklusif, guru-guru sering merasa terbebani karena kurangnya pelatihan dan sumber daya . Hal ini mencerminkan kesenjangan antara niat dan realitas di lapangan.
“Gue nggak percaya dunia ini adil. Gue cuma percaya kalau lo harus cukup tajam buat bertahan. Kalau lo lemah, ya lo abis. Tapi, kalau lo udah cukup kuat, bantu yang di bawah lo. Bukan karena lo baik, tapi karena lo tau rasanya ada di posisi mereka,” ucapnya dengan tatapan kosong.
Dari perjalanan hidupnya, Michael belajar bahwa inklusivitas bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga tentang tindakan nyata. “Buat gue, inklusivitas itu bukan cuma slogan. Lo harus bener-bener ngelakuin sesuatu, mulai dari hal kecil kayak nggak ngejudge orang lain, gue belajar, lo pada belajar, kita semua belajar saling menghargai karena kita manusia, sama sama mau hidup kan?” sarannya.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk masyarakat yang lebih inklusif. “Kalo dari kecil kita diajarin buat nerima perbedaan, gue yakin dunia bakal lebih baik,” tambahnya.
Kisah Michael menggambarkan kompleksitas identitas dan perjuangan melawan diskriminasi. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, ia berhasil menemukan keseimbangan antara kemandirian dan inklusivitas.
Pengalamannya mengajarkan bahwa inklusivitas bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Author – (Khaishya/Ext)
Editor – (Ajeng/Ext)