
Extama – Rencana pembinaan remaja bermasalah di barak militer menuai pro dan kontra di berbagai daerah. Wacana yang digulirkan Pemerintah Provinsi Banten dan sudah dijalankan oleh Pemprov Jawa Barat di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi ini menimbulkan respons beragam dari masyarakat, legislatif, hingga lembaga perlindungan anak.
Di Banten, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Provinsi Banten meminta Pemerintah Provinsi untuk mempertimbangkan secara matang aspek perlindungan anak sebelum mengimplementasikan program tersebut.
Ketua Komnas PA Banten, Hendri Gunawan, menekankan enam poin krusial yang perlu diperhatikan, mulai dari assessment profesional, pendampingan oleh psikolog atau pekerja sosial, hingga persetujuan orang tua sebagai syarat mutlak.
“Pendekatan yang digunakan tetap harus menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama,” tegas Hendri.
Menurutnya, pembinaan di barak harus tunduk pada prinsip-prinsip Perlindungan Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Program tersebut juga diminta memiliki batas waktu yang jelas dan tidak bersifat represif.
Meski demikian, sejumlah pihak justru menyambut baik gagasan ini. Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, H. Tubagus Imam, menilai pembinaan militer sebagai solusi konkret atas darurat moral remaja.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi V DPRD Banten, Andra Soni, percaya bahwa pendekatan ini dapat memberi efek jera terhadap pelaku kenakalan remaja.
“Tawuran pelajar sudah masuk fase darurat moral,” kata Tubagus.
“Program ini sangat positif,” timpal Andra.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sudah lebih dulu mengimplementasikan program ini dengan mengirimkan siswa yang terlibat tawuran dan membawa senjata tajam ke barak militer.
“Ini bukan untuk menghukum, tapi membentuk karakter,” tegas Dedi.
Namun, kebijakan ini menuai kritik keras dari Komnas HAM, KPAI, dan beberapa lembaga lain. Mereka menilai tindakan tersebut dapat melanggar hak anak jika dilakukan tanpa prosedur yang tepat.
Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, bahkan meminta agar program ini dihentikan sementara untuk evaluasi mendalam.
“Program ini perlu dievaluasi, terutama terkait regulasi dan dampak psikologis terhadap anak-anak,” ujarnya.
Senada, Komnas HAM menyebut pendekatan yang terlalu keras bisa meninggalkan trauma dan mencederai aspek pendidikan yang mendukung perkembangan anak.
Meski begitu, tidak sedikit orang tua yang menyatakan anak mereka menjadi lebih disiplin setelah mengikuti program ini, bahkan mendukung program untuk dilanjutkan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, menyarankan agar program ini terus dikawal dan dievaluasi hingga tuntas. Bila hasilnya baik, menurutnya tidak ada salahnya program ini diterapkan lebih luas.
“Kalau hasilnya positif, jangan ragu untuk dijadikan gerakan nasional,” tutur Kak Seto.
“Mohon maaf, jangan gengsi,” tambahnya.
Hingga kini, polemik soal program pembinaan remaja di barak militer belum juga mereda. Perdebatan soal efektivitas versus perlindungan anak terus mencuat.
Di tengah pro-kontra, semua pihak sepakat bahwa upaya menekan kenakalan remaja memang penting, namun harus dijalankan dengan pendekatan yang tidak mencederai hak-hak anak.
Komnas PA Banten menegaskan akan terus mengawal wacana ini di tingkat lokal, sembari berharap Pemprov Banten tidak terburu-buru mengadopsi pendekatan yang belum terbukti aman secara psikologis maupun hukum.
Author : Olip,Rohman
Editor : Khaishya