Refleksi Hari Keadilan Internasional: Menggali Luka Lama dalam Novel “Laut Bercerita”

Extama – Setiap tanggal 17 Juli, dunia memperingati Hari Keadilan Internasional yang menjadi sebuah momen penting untuk menegaskan kembali komitmen global terhadap keadilan dan hak asasi manusia.

Di Indonesia, peringatan ini terasa begitu dekat ketika kita menilik kembali salah satu karya sastra yang kuat secara moral dan emosional yakni, Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.

Hari Keadilan Internasional ditetapkan sejak 1 Juni 2010 di Kampala, Uganda, sebagai bentuk peringatan atas diadopsinya Statuta Roma pada 17 Juli 1998.

Statuta ini menjadi landasan berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang bertugas mengadili pelaku kejahatan paling serius, seperti genosida, kejahatan kemanusiaan, dan penghilangan paksa.

Sementara dunia berbicara soal keadilan secara global, Indonesia masih memikul beban sejarah yang belum usai.

Dalam Laut Bercerita, Leila membuka kembali lembaran kelam 1998 melalui kisah Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa aktivis UGM yang diculik dan menjadi korban penghilangan paksa bersama rekan-rekannya.

Narasi ini tidak hanya menyentuh secara personal, tapi juga menelanjangi kejahatan sistematis yang melanggar hak dasar manusia.

Dalam novel, kita melihat berbagai bentuk pelanggaran HAM, antara lain:

  1. Penghilangan paksa : Penangkapan tanpa proses hukum dan tanpa jejak.
  2. Penyiksaan : Kekerasan fisik dan psikologis yang dialami para tahanan.
  3. Pelanggaran hak hidup : Banyak korban yang tidak pernah kembali.
  4. Pembungkaman : Hilangnya informasi dan kejelasan tentang nasib korban.

Yang paling pilu adalah jeritan keluarga yang ditinggalkan tanpa kepastian. Tokoh Asmara Jati, adik Biru Laut, merepresentasikan ribuan suara keluarga korban yang tak kunjung mendapat jawaban apalagi keadilan.

Laut Bercerita bukan sekadar fiksi. Ini adalah dokumentasi emosional atas luka sejarah yang masih terbuka. Dicetak ulang sebanyak 71 kali, novel ini menjadi pengingat bahwa:

  1. Kejahatan berat tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Para pelaku harus dimintai pertanggungjawaban.
  2. Keluarga korban berhak atas kebenaran. Ketidaktahuan adalah penderitaan kedua.
  3. Negara wajib melindungi warganya dan menegakkan keadilan. Diam berarti turut melanggengkan kekerasan.

Sayangnya, kasus-kasus seperti 1998 masih belum tersentuh terang hukum. Negara seolah menutup mata, membiarkan sejarah dikubur dalam diam. Padahal, para korban dan keluarga mereka masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang.

Dalam konteks Hari Keadilan Internasional, Laut Bercerita mengingatkan kita bahwa keadilan tak punya batas waktu atau tempat.

Ia adalah suara yang akan terus bergaung sampai kebenaran terungkap dan luka disembuhkan. Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional menjadi simbol bahwa dunia tidak bisa lagi diam terhadap kejahatan berat. Namun, upaya internasional akan sia-sia jika negara sendiri tidak mau bergerak.

Melalui kisah Biru Laut dan Asmara, kita diingatkan bahwa memperjuangkan keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga soal mengakui penderitaan korban, menyembuhkan trauma keluarga, dan mencegah agar tragedi serupa tidak terulang.

Peringatan Hari Keadilan Internasional 2025 menjadi panggilan moral, bahwa memperjuangkan keadilan adalah kerja kemanusiaan yang tidak boleh berhenti.

Author : Winda
Editor : Khaishya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *