
Extama – Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Bina Bangsa (UNIBA) menuai kritik keras dari mahasiswa setelah tiga bulan berdiri tanpa menghasilkan regulasi maupun membuka forum aspirasi.
Salah satu mahasiswa UNIBA, Adam Arjun Maulana, menilai kinerja DPM saat ini hanya sebatas formalitas.
“DPM hari ini hanya hidup di atas kertas namun mati dalam fungsi. Mereka abai terhadap mandat dan mengkhianati hak politik mahasiswa. Legislasi tanpa partisipasi adalah omong kosong, dan representasi tanpa aspirasi adalah penipuan,” tegas Adam pada Sabtu (16/8).
Adam menilai, hingga kini DPM belum melahirkan satu pun regulasi, tidak memiliki kerangka kerja kelembagaan, dan bahkan tidak pernah membuka forum publik untuk menyerap aspirasi mahasiswa.
Menurutnya, kondisi ini bukan semata karena keterbatasan waktu, melainkan akibat “kelumpuhan visi dan keberanian”.
Ia juga menekankan bahwa jabatan anggota DPM bukanlah sekadar simbol, melainkan amanah yang harus dibuktikan melalui kerja nyata.
“Legitimasi tidak lahir dari berita acara pelantikan, melainkan dari sejauh mana DPM menghadirkan ruang legislasi yang terbuka, demokratis, dan berpihak kepada mahasiswa,” jelasnya.
Adam memperingatkan, jika DPM terus berjalan tanpa arah, sejarah akan mencatat lembaga tersebut hanya sebagai saksi bisu matinya demokrasi kampus.
“Kami tidak akan diam. Mahasiswa akan terus menuntut, mendesak, dan memaksa agar DPM bekerja sebagaimana mestinya, atau menyerahkan kursi itu kepada mereka yang siap berjuang,” tegasnya lagi.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa demokrasi mahasiswa hanya bisa lahir dari keterbukaan dan keberanian kolektif.
“Demokrasi mati bukan karena musuhnya kuat, tetapi karena wakilnya diam,” pungkas Adam.

Menanggapi kritik tersebut, Ketua DPM UNIBA, Reza Triyana, membantah bahwa lembaganya tidak produktif. Ia menyebut DPM saat ini masih berada dalam tahap pembangunan dan rekonstruksi setelah lama vakum.
“Sebenarnya kami sedang menyusun produk legislasi, tetapi beberapa kawan-kawan tidak bisa melihat proses atau sudut pandang lain. Masa periode awal ini termasuk masa pembangunan,” ujar Reza dalam wawancara, Minggu (17/8).
Reza menjelaskan bahwa DPM berencana menggelar Musyawarah Luar Biasa dalam waktu dekat untuk menetapkan AD/ART sebagai landasan kerja organisasi.
“Organisasi ini belum memiliki AD/ART. Tidak ada dokumen apa pun mengenai DPM setelah cukup lama divakumkan,” jelasnya.
Selain itu, DPM juga akan meluncurkan sistem aspirasi online berbasis QR code yang dapat diakses melalui Instagram @dpm.uniba atau melalui poster di beberapa titik strategis kampus.
“Setelah AD/ART rampung, kami akan membuat titik aspirasi online melalui QR code yang bisa diakses seluruh mahasiswa UNIBA,” tambah Reza.
Pihak DPM pun mengaku terbuka terhadap kritik dan saran, serta meminta maaf atas keterlambatan kinerja yang dirasakan mahasiswa.
“Kami terbuka terhadap kritik maupun saran. Itu menjadi pengingat sekaligus pemacu agar kami bekerja lebih ekstra. Kami juga memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh mahasiswa UNIBA jika kinerja kami terkesan terlambat. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan fungsi legislatif sebagaimana mestinya,” pungkasnya.
Berangkat dari kritik tajam mahasiswa terhadap kinerja DPM UNIBA dan bantahan yang diajukan oleh pihak DPM, dapat disimpulkan bahwa problem utama terletak pada kesenjangan antara ekspektasi mahasiswa dan proses internal lembaga.
Mahasiswa menuntut fungsi representasi dan legislasi yang nyata, sementara DPM beralasan masih berada dalam tahap pembangunan pasca kevakuman.
Situasi ini menunjukkan bahwa keberlangsungan demokrasi kampus bergantung pada dua hal yang mana itu adalah keseriusan DPM dalam segera mewujudkan regulasi, forum aspirasi, dan sistem representasi yang transparan serta keterlibatan kritis mahasiswa untuk terus mengawasi.
Tanpa komitmen nyata dari kedua pihak, DPM berisiko kehilangan legitimasi, dan demokrasi mahasiswa bisa terhenti hanya sebatas jargon.
Author : Olip
Editor : Khaishya