Nasib Miris Pekerja Ritel

Minipasar dan toko ritel telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian warga kota Serang, Banten. Tetapi mungkin kita jarang terpikir, bagaimana nasib pekerja yang sehari-hari setia melayani keperluan warga itu? Ternyata situasi kerja para pekerja minimarket dan toko ritel lainnya cukup memprihatinkan. Jam kerja yang panjang, tak mendapatkan hari libur, tak dapat uang lembur, bahkan mesti menanggung kerugian jika sampai terjadi kehilangan barang.

Hal itu dikisahkan Silviyanti, pekerja minimarket yang telah bekerja dua tahun sebagai kasir salah satu minimarket di area Pakupatan. Gajinya memang sudah sesuai UMR kota Serang yaitu Rp 4.148.602 (tahun 2024), tapi tuntutan pekerjaannya sangat tinggi dengan situasi bekerja tak manusiawi. Misalnya selama waktu kerjanya, Silvi sebagai kasir harus terus menerus berdiri.

Baca juga: https://www.lpmextama.com/bau-tidak-sedap-yang-meresahkan-masyarakat-kecamatan-cileles-kesehatan-yang-dikhawatirkan/

“Tidak ada kursi yang disediakan untuk kasir. Kaki kesemutan sudah menjadi makanan sehari hari. Kalau sedang tidak kuat berdiri, sesekali saya selonjorkan kaki, tentu jika tidak ada customer,” kisah Silvi.

Padahal jam kerjanya pun sering terpaksa melampaui waktu kerja yang seharusnya delapan jam sehari. Jika toko buka pukul 06.00, paling lambat pukul 5.30 para pekerja sudah harus sampai di toko. Jika waktu kerja berakhir pukul 15.00, pekerja tidak bisa langsung pulang karena mesti membereskan pekerjaan di gudang penyimpanan barang dulu.

“Kerja bisa molor sampai pukul 18.00 sore dan tidak ada uang lembur sama sekali,” ujar Silvi.

Selain waktu kerja yang panjang tanpa kompensasi apapun, ketika libur nasional pekerja ritel diwajibkan tetap masuk kerja demi mengejar target penjualan. Sehari-harinya target penjualan telah dipatok pemilik ritel. Meskipun tidak ada sanksi berupa pemotongan gaji jika target tak terpenuhi, tekanan yang dialami pekerja cukup besar sehingga mereka melakukan segala daya, yang tak jarang merugikan diri sendiri.

“Saya sering membeli pulsa dan kuota padahal tidak sedang butuh, tapi tetap saya beli karena untuk mencapai target penjualan di hari itu,” ujar Silvi

Lebih dari itu sebagai kasir, risiko pekerjaan Silvi juga cukup tinggi. Jika uang hasil penjualan tidak sesuai dengan penghitungan di sistem aplikasi kasir, ia yang mesti menutupi selisihnya. Jika terjadi barang yang hilang di rak, ia pula yang mesti menanggung. Dalam satu minggu Silvi bisa menanggung kerugian dua hingga tiga kali.

“Paling kecil Rp 10 ribu. Pernah Rp 50 ribu, paling besar bahkan Rp 250 ribu. Pokoknya jika terjadi kehilangan barang pun, gaji saya yang terpotong setiap bulannya,” ujar Silvi.

Alhasil upah yang sesuai UMR itu tak pernah diterima utuh, karena semua target penjualan dan risiko kehilangan barang dibebankan kepada para pekerja ritel. Hal serupa dialami oleh Lia, seorang mantan kasir minimarket yang terletak di Ciceri, Serang, Banten.

“Saya bekerja di toko hanya bertahan 1 tahun, nggak kuat soalnya nombok terus. Kalau lembur pun, nggak dapat uang lembur. Sebelum saya berhenti saya pernah minus 150 ribu karena ada barang yang hilang dan harus mengganti pakai uang pribadi saya,” ujar Lia.

Lia pernah terpaksa bekerja di luar jam kerja untuk memenuhi target penjualan yang dibebankan kepadanya, yaitu program penjualan mangkok dan alat rumah tangga. Selama bekerja, Lia tidak mendapatkan hak libur ketika hari libur nasional. Setiap pekerja yang sudah bekerja selama setahun berhak atas maksimal 10 hari cuti, tapi minimarket tempat Lia bekerja tidak memberikan hak cuti menstruasi.

Sebetulnya hak-hak pekerja atas libur telah diatur dalam Pasal 85 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu para pekerja tidak diwajibkan untuk bekerja pada hari libur yang telah diresmikan. Jika mempekerjakan karyawan pada hari libur resmi, perusahaan juga diwajibkan membayar upah. Namun pasal yang sama juga memuat ‘celah’ yang membuka peluang tereksploitasinya karyawan seperti Silvi dan Lia, yaitu pernyataan bahwa perusahaan boleh memberikan pekerjaan kepada karyawan di hari libur jika sifat pekerjaan tersebut harus dijalankan, berdasarkan kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan. Pada kenyataannya, para pekerja kerap berada di posisi sulit menolak perintah atasan dan pemilik ritel untuk bekerja di hari libur.

Sedangkan perihal pemotongan gaji karyawan diatur oleh PP Pengupahan no 36 tahun 2021 yaitu perusahaan boleh memotong gaji karyawan sebesar maksimal 50% dari jumlah gaji. Pemotongan gaji tersebut tidak bisa sembarangan dan harus dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

“Jika perusahaan melakukan pemotongan gaji hanya sepihak, tanpa alasan yang jelas dan tanpa ada persetujuan dari karyawan tersebut, maka hal tersebut dianggap ilegal dan boleh dilaporkan kepada instansi yang terkait,” ujar Fidziyah, dosen dan pengkaji masalah ketenagakerjaan dari Universitas Bina Bangsa.

Dinas Tenaga Kerja Bidang Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Provinsi Banten, Ahmad Sofian mendukung para pekerja untuk mengadukan kepada instansinya, jika mereka tidak mendapatkan hak-haknya dari perusahaan tempat mereka bekerja, selama pengaduan itu disertai bukti-bukti yang cukup.

“Jika terbukti bahwa karyawan tidak mendapatkan hak-haknya yang sesuai dengan ketentuan, Dinas Ketenagakerjaan akan melakukan pembinaan kepada perusahaan tersebut,” ujar Ahmad Sofian.

Baca juga: https://www.lpmextama.com/perempuan-disabilitas-rentan-alami-kekerasan-seksual/

Masalahnya, selain masih banyak pekerja yang tak memahami hak-haknya sesuai peraturan yang berlaku, peraturan yang ada pun ternyata memang belum berpihak pada kepentingan pekerja. Erwin Supriadi, Ketua Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia kota Cilegon menjelaskan bahwa Serikat Buruh menolak PP 36 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Substansi peraturan dinilai tak berpihak pada kepentingan pekerja, mulai dari sistem pengupahan, turunnya nilai pesangon, ketidakjelasan jaminan pekerja, pengurangan istirahat mingguan dan tidak adanya batas waktu yang jelas mengenai perjanjian kerja tertentu (PKWT).

“Serikat Buruh masih berjuang menolak UU Ciptaker baik lewat jalur litigasi yaitu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi maupun non litigasi yaitu melalui aksi-aksi). Buruh bisa mengadukan permasalahannya dan berkonsultasi dengan pengurus Serikat Buruh. Jika terjadi perselisihan dengan pihak perusahaan maka buruh yang menjadi anggota Serikat Buruh bisa langsung menunjukkan kartu anggota dan langsung bisa didampingi. Adapun yang bukan anggota tetap bisa didampingi, tapi harus membuat surat kuasa terlebih dahulu,” ujar Erwin Supriadi

Masih panjang perjuangan para pekerja untuk mendapatkan keadilan dan kondisi kerja yang lebih manusiawi. Para pekerja ritel seperti Silvia dan Lia masih harus bertahan dengan jam kerja terlalu panjang, target-target penjualan mencekik dan risiko kehilangan barang yang mesti mereka tanggung. ***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

Penulis/ Waty Anggraeni – LPM Extama Univ. Bina Bangsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *