Generasi Z : Pemikul Harapan Bangsa di Tengah Krisis Iklim dan Krisis Pekerjaan

“Capek mas, kalau nggak kalah sama yang punya modal ya kalah sama yang punya ordal” Ujar Taufik (24) seorang generasi Z lulusan S1 yang belum mendapatkan pekerjaan dari semua lowongan yang dilamar, selama hampir satu tahun, taufik bersikeras memperjuangkan dirinya agar bekerja, semua proses rekrutment yang ia lakukan terlewati begitu saja tanpa ada kejelasan, menurut hematnya, salah satu penyebab dirinya tidak diterima adalah maraknya praktik nepotisme.

“saya gatau harus gimana lagi mas, padahal setiap ada lowongan pasti saya lamar, tapi ya gitu, mentok-mentok sampe wawancara, abis itu nggak ada kejelasan lagi, padahal saya butuh banget kerja, mau kerja apapun saya siap, tapi tetep gak keterima” tutur taufik dengan nada kesal.

Ditengah teriknya siang hari, ketika percakapan mulai sunyi, Taufik menyalakan sebatang rokok yang dibeli secara eceran, aktifitas tersebut ia lakukan setiap hari demi mendamaikan isi pikirannya, buntut dari pengangguran ini, hubungan Taufik dengan orang tuanya merenggang, hal itu bukan karena orang tuanya yang menuntut agar cepat mendapatkan kerja, namun rasa malu Taufik yang mengakibatkan dirinya enggan berkomunikasi.

Baca selengkapnya: https://www.lpmextama.com/penolakan-revisi-undang-undang-penyiaran-melindungi-kebebasan-pers-atau-membungkam-informasi/

“coba mas gimana nggak aneh, saya kalo ngelamar lowongan untuk lulusan S1, pasti HRD nyarinya yang punya pengalaman kerja minimal 2 tahun, padahal saya kan fresh graduate yang mau nyari pengalaman tersebut, tapi kalo saya lamar di lowongan untuk lulusan SMA sederajat, pasti HRD nya nolak juga karena tau saya lulusan S1, dia nuduh saya pasti kerjanya nggak serius karena udah punya gelar pendidikan, dan lain-lain, harus gimana lagi saya kalo seperti ini” keluh Taufik sebelum akhirnya menghisap rokoknya kembali.

Kondisi tersebut memang sangat membingungkan, keluhan Taufik hanyalah satu dari sekian juta gen z yang sedang berjuang mencari pekerjaan, selain maraknya praktik nepotisme, beberapa stigma yang mengatakan bahwa Gen Z generasi pemalas, kesehatan mental yang rentan terganggu, tidak professional dalam bekerja, adalah salah satu penyebab Gen Z kerap kali disepelekan oleh perusahaan.

hal tersebut terkabul dalam survey yang dilakukan ResumeBuilder.com pada bulan januari 2024, bahwa manajer yang mengisi posisi entry-level melaporkan adanya keraguan terhadap generasi Z, 31% dari 782 orang yang disurvei mengatakan mereka menghindari mempekerjakan Gen Z dan memilih pekerja yang lebih tua, dan 30% mengatakan mereka harus memecat pekerja Gen Z dalam waktu satu bulan sejak tanggal mulai bekerja.

Baca selengkapnya: https://www.lpmextama.com/persona-dalam-kesenian-ukm-lisbu-adakan-pojok-seni-ke-ix/

Hampir seluruh responden (94%) melaporkan kandidat Gen Z bertindak tidak pantas saat wawancara. Pelamar Gen Z meminta terlalu banyak uang, tidak memiliki keterampilan komunikasi, tidak terlihat terlibat, berpakaian tidak pantas dan kurang melakukan kontak mata.

Kepala Penasihat Karir ResumeBuilder Stacie Haller mengatakan COVID-19 menghambat kemampuan generasi untuk memperoleh keterampilan dasar di tempat kerja. “Peralihan dari lingkungan pembelajaran tatap muka tradisional ini berdampak pada kemampuan mereka untuk mengasah keterampilan penting, seperti komunikasi yang efektif, menangani kritik yang membangun, dan mengamati orang lain untuk membangun ketajaman profesional mereka.” ucapnya.

Namun maraknya pengangguran yang dialami Gen Z ini bukan hanya diakibatkan dari perilaku Gen Z belaka, badan pusat statistik (BPS) dalam survey terbarunya yang cukup mengejutkan mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau yang biasa disebut Gen Z menganggur atau not employment, education, or training (NEET).

Neet adalah penduduk usia muda dengan rentang usia 15-24 tahun yang tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan, kondisi ini diakibatkan karena lebih banyaknya angkatan kerja dibanding lowongan pekerjaan itu sendiri, dan di perkirakan kondisi ini akan lebih parah di beberapa tahun ke depan karena adanya kerusakan lingkungan yang masif di Indonesia.

Kondisi Lingkungan Yang Memperparah Masa Depan Gen Z

Selain disebabkan kondisi diatas, Kerusakan lingkungan yang sangat masif seperti sekarang juga dapat membawa kerusakan lapangan pekerjaan terutama untuk generasi pembawa harapan emas ini. Di Indonesia Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENASRI) mengestimasi kerugian dari dampak krisis iklim mencapai Rp. 544 triliun pada periode 2020-2024, angka ini di taksir sekitar seperempat dari total APBN Indonesia pertahun.

Lagi-lagi Generasi Z adalah generasi yang akan sangat terkena dampak dari krisis iklim ini, pasalnya karena krisis iklim, suhu bumi meningkat sekitar 1,5°C dalam satu dekade terakhir, kenaikan ini membawa efek yang buruk bagi kelangsungan hidup manusia terutama generasi Z di masa yang akan datang.

Misalnya kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan petani gagal panen beruntun, pembangunan infrastruktur yang terhambat, badai, kebakaran hutan, banjir dan bencana lainnya yang tentu akan membawa banyak dampak kerugian.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa dalam tujuh tahun mendatang, 3,8% dari total jam kerja di seluruh dunia dapat hilang akibat suhu tinggi yang disebabkan krisis iklim. Jumlah tersebut setara dengan 136 juta pekerjaan penuh waktu, dan kerugian ekonomi sebesar 2.400 miliar dolar AS sebagaimana dikutip dari kantor berita republika.

Tentu saja, bukan pekerja kantoran yang akan terkena dampak utamanya, Namun para pekerja yang beraktifitas di luar ruangan. Bukan hanya panas ekstrem yang harus dihadapi, kualitas udara buruk, serangga pembawa penyakit, banjir dan kebakaran hutan, yang semuanya diperparah oleh krisis iklim juga akan berdampak signifikan terhadap kemampuan para pekerja dalam menjalankan pekerjaan mereka.

Dampak lain dari krisis iklim adalah menaiknya volume air laut yang di akibatkan mencairnya air es dari kutub utara dan selatan, hal ini akan membawa banyak kerugian seperti akan ada daerah pesisir yang tenggelam yang akan mengakibatkan matinya sektor pariwisata pantai, pengungsian besar-besaran dari daerah yang tenggelam, dan lain sebagainya.

Tentu solusi dari semua kerusakan yang akan diakibatkan oleh krisis iklim ini dapat ditangani perlahan dengan melibatkan semua pihak, baik individu masyarakat maupun regulasi pemerintah.

Salah satu yang gencar dilakukan pemerintah di seluruh dunia saat ini adalah transisi energi, perpindahan dari energi fosil ke energi terbarukan demi terciptanya net zero emission, yang di targetkan pemerintah indonesia rampung pada tahun 2060 mendatang.

Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta untuk mempercepat laju transisi energi ini, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang didukung dengan cara mensubsidi pemasangan panel surya rumahan, membangun pembangkit listrik tenaga geothermal (panas bumi), hingga mendukung penggunaan mobil listrik dengan cara mensubsidi pembelian, mengurangi pajak, bebas ganjil genap dan lain sebagainya.

Namun rupanya, beberapa upaya tersebut justru menimbulkan masalah lingkungan yang baru bagi masyarakat indonesia yang tinggal di daerah-daerah pembangunan pembangkit listrik tenaga geothermal Seperti kerusakan hutan, aktifitas pertanian warga sekitar, hingga gejala penyakit baru akibat zat-zat yang timbul dari area pengeboran panas bumi itu sendiri.

Gambar : pixabay

Munawaroh, selaku akademisi Universitas Bina Bangsa mengatakan bahwa transisi yang di lakukan pemerintah saat ini belum tepat. “Benar, Transisi yang di lakukan pemerintah saat ini masih belum tepat, karena menurut saya transisi energi yang paling baik itu justru pembangkit listrik tenaga sampah, selain ramah lingkungan, hal ini juga dapat mengurangi populasi sampah yang semakin menggunung” ujarnya. Di indonesia sendiri, pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) masih kurang masif, bahkan terdapat beberapa penolakan dari aktifis lingkungan dan warga sekitar yang beranggapan bahwa pembangkit listrik ini justru akan memperburuk kualitas udara.

“Sayangnya pemerintah kita tidak memprioritaskan proyek ini, gebrakan awalnya memang bagus, membangun PLTSa di beberapa kabupaten/kota, tapi ujung-ujungnya mampet lagi, padahal jika berkaca ke negara-nagara maju, seperti jepang, jerman, denmark, swedia, mereka berhasil mengurangi populasi sampah dengan mengubahnya menjadi energi” tutur Munawaroh.

Selain gencar membangun pembangkit listrik tenaga geotermal, pemerintah juga mempermudah izin usaha pertambangan guna mempercepat laju hilirisasi Nikel.

Gambar : Gramedia.com

Nikel itu sendiri adalah komponen penting dalam pembuatan batrai mobil listrik, dan indonesia adalah salah satu negara terbesar yang mempunyai cadangan nikel skala global yakni mencapai angka 42,3% sebagaimana dikutip dari katadata.co.id.

Persetan dengan peningkatan pendapatan negara dari hilirisasi nikel dan mempercepat transisi energi, nampaknya yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta saat ini menimbulkan masalah lingkungan bagi masyarakat di sekitarnya.

Dalam sebuah tayangan film dokumenter yang di rilis oleh Watchdoc documentary, memperlihatkan bagaimana masyarakat yang berada di kawasan tambang nikel mengalami gangguan hidup yang sangat besar khususnya di sektor pertanian.

Dalam tayangan tersebut, memperlihatkan Anwar (45), warga desa Sukarela Jaya pulau Wawoni Sulawesi Tenggara yang mengandalkan hidup dari hasil panen jambu mete, ia mengalami kerugian panen sekitar 55 juta akibat adanya aktifitas tambang nikel dari PT. Gema kreasi perdana.

Kemudian dialami Lamiri dengan total kerugian sebesar 170 juta rupiah dan widiyati 60 juta rupiah akibat pohon cengkeh yang dimilikinya digusur oleh perusahaan yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan itu.

Kerugian serupa juga dialami 34.000 warga desa wawoni yang mengandalkan hidup dari hasil alam yang semula baik-baik saja sebelum adanya aktifitas tambang nikel.

Peristiwa-peristiwa tersebut hanya satu dari sekian banyaknya tambang nikel yang ada di indonesia, tentu hal ini juga memperparah keadaan generasi Z yang semakin kehilangan lapangan pekerjaan dan kehancuran lingkungan hidupnya di masa depan.

Maka timbul pertanyaan yang sangat besar oleh sebagian kalangan, apakah generasi yang di gadang-gadang akan membawa Indonesia Emas ini akan tercapai di 2045 dengan sejumput masalah yang ada, atau malah sebaliknya.

Penulis : M Fiqri Haikal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *