Extama – Gelombang kritik keras mengarah kepada DPR RI dan Pemerintah terkait langkah-langkah mereka dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kelompok-kelompok masyarakat menuding DPR dan Pemerintah telah membangkang terhadap konstitusi dan mengabaikan kedaulatan rakyat.
Kritik tajam muncul setelah DPR RI berupaya menganulir dua putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menghapuskan ambang batas pencalonan kepala daerah berdasarkan persyaratan partai politik atau gabungan partai politik, serta menetapkan ambang batas berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di setiap daerah. Putusan kedua, Nomor 70/PUU-XXII/2024, menolak perubahan syarat batas usia calon kepala daerah yang seharusnya dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan sejak pelantikan.
Namun, dalam rapat Badan Legislatif (Baleg), DPR berencana mengembalikan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah ke angka 20% kursi di DPRD bagi partai atau gabungan partai politik. DPR juga dilaporkan akan menerapkan kembali aturan batas usia calon kepala daerah yang dihitung sejak pelantikan, meskipun aturan ini sudah ditolak oleh MK.
Kelompok masyarakat menuding bahwa revisi UU Pilkada yang dipercepat ini merupakan bagian dari skenario besar yang didukung oleh koalisi politik yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Mereka menganggap bahwa DPR sedang mengakomodasi kepentingan politik dalam menghadapi Pilkada 2024, di mana koalisi besar ini bertujuan menciptakan situasi yang memungkinkan pasangan calon dari koalisi mereka bisa bertarung tanpa lawan berarti.
Langkah ini disebut sebagai bentuk “Tirani Parlemen” yang hanya menguntungkan elit politik, terutama dinasti politik Presiden Jokowi. Beberapa kelompok juga menyebutkan bahwa upaya ini merupakan kelanjutan dari berbagai manipulasi demokrasi yang telah terjadi dalam dekade terakhir, termasuk revisi UU KPK dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Cipta Kerja yang sebelumnya juga ditolak oleh MK.
Sidang paripurna DPR yang dijadwalkan pada Kamis, 22 Agustus 2024, untuk membahas revisi UU Pilkada dibatalkan karena kurang kuorum. Pembatalan ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan dan protes publik, yang menunjukkan adanya ketidakpastian dalam proses legislasi ini.
Sebagai respons terhadap situasi ini, berbagai kelompok masyarakat telah melakukan aksi protes besar-besaran di berbagai daerah dan terutama di Gedung DPR RI. Aksi tersebut melibatkan ribuan demonstran yang turun ke jalan, mengangkat spanduk dan poster yang menuntut kepatuhan terhadap putusan MK dan penolakan terhadap revisi UU Pilkada. Demonstrasi ini menampilkan orasi dari berbagai pemimpin masyarakat, akademisi, dan aktivis yang menekankan pentingnya menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
Para pengunjuk rasa menuntut agar DPR dan Pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Mereka juga mendesak agar seluruh rakyat Indonesia tetap bersatu dalam perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai upaya manipulasi politik dan pelanggaran terhadap hak-hak demokratis.
Seruan untuk terus melakukan aksi dan pembangkangan sipil tetap menggaung, dengan harapan agar suara rakyat dapat diterima dan perubahan yang merugikan tidak terwujud.
Author – (Ine/Ext)