Ketika Presiden Mengundang Jurnalis: Aksi Nyata atau Panggung Sandiwara?

Extama – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengundang tujuh jurnalis senior dari berbagai media nasional untuk wawancara langsung di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (6/4/2025).

Momen ini menjadi sorotan publik karena dinilai sebagai langkah terbuka Presiden terhadap isu-isu sensitif yang tengah berkembang di masyarakat.

Melalui akun Instagram resminya, Presiden Prabowo membagikan foto dan keterangan mengenai pertemuan tersebut. “Hari ini saya berkesempatan wawancara bersama tujuh jurnalis dari tujuh media besar di Tanah Air,” tulisnya dalam unggahan pada Minggu, 6 April 2025.

Wawancara berlangsung selama kurang lebih empat jam dalam format meja bundar, menghadirkan para pemimpin redaksi dan tokoh pers ternama:

  1. Lalu Mara Satriawangsa (tvOne)
  2. Uni Lubis (IDN Times)
  3. Najwa Shihab (Narasi)
  4. Alfito Deannova Gintings (detikcom)
  5. Retno Pinasti (SCTV-Indosiar)
  6. Sutta Dharmasaputra (Harian Kompas)

Dengan konsep satu pertanyaan utama dan satu pertanyaan lanjutan dari masing-masing jurnalis, sesi ini tetap dinilai padat dan tajam.

Tidak ada batasan topik yang diberikan, membuat para jurnalis bebas mengangkat isu-isu krusial seperti RUU TNI dan kasus teror kepala babi di kantor Tempo.

Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra, wawancara dimulai dengan pemaparan Presiden terkait capaian awal pemerintahannya bersama Gibran sejak dilantik pada 20 Oktober 2024. Namun setelah itu, sesi berubah menjadi lebih intens dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari para jurnalis.

Semua pernyataan Presiden bersifat on the record, artinya dapat dikutip dan dipublikasikan secara langsung di media. Ini menjadi hal penting di tengah kekhawatiran akan menurunnya kebebasan pers beberapa waktu terakhir.

Meski momen ini disambut positif oleh sebagian kalangan sebagai sinyal terbukanya ruang dialog antara pemerintah dan media, tak sedikit pula yang menilai bahwa satu sesi wawancara belum cukup untuk membuktikan bahwa kebebasan pers benar-benar dilindungi dan tidak dibungkam.

Kritik muncul dari sejumlah pihak yang melihat langkah ini sebagai manuver simbolik sebuah pertunjukan keterbukaan yang tidak menyentuh akar persoalan yakni, intimidasi terhadap jurnalis, tekanan politik terhadap media, sensor terselubung, dan kekerasan yang masih kerap menghantui ruang redaksi di berbagai daerah.

Kekhawatiran ini semakin relevan di tengah banyaknya kasus tekanan terhadap media kritis yang belum terselesaikan. Insiden pengiriman kepala babi ke kantor Tempo, misalnya, memperkuat narasi bahwa pers di Indonesia belum sepenuhnya aman.

Maka, pertanyaan besar pun muncul yaitu, apakah pertemuan ini merupakan bentuk komitmen nyata terhadap kebebasan pers? Ataukah sekadar strategi pencitraan untuk meredam kritik yang mulai membesar?

Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin menjamin kemerdekaan pers, maka tidak cukup hanya membuka pintu wawancara.

Yang dibutuhkan adalah perlindungan sistematis terhadap jurnalis dan media bukan hanya di depan kamera, tetapi dalam kebijakan, tindakan nyata, dan komitmen jangka panjang terhadap demokrasi yang sehat.

Keterbukaan tanpa keberanian untuk menghadapi kritik sejati hanyalah retorika. Dan di sinilah ujian sebenarnya bagi pemerintahan Prabowo-Gibran di mana mereka harus berani mendengar, melindungi, dan tidak mengendalikan suara yang berbeda.

Author : Dendi
Editor : Khaishya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *