
Extama – Di antara khidmatnya prosesi wisuda Universitas Bina Bangsa (Uniba) tahun 2025, terangkai ribuan cerita.
Di antara 1.642 lulusan yang merayakan pencapaian mereka, ada dua kisah hangat dari fakultas yang berbeda.
Cerita mereka bukan hanya tentang deretan angka IPK, tapi tentang perjalanan batin, ketekunan, dan rasa syukur yang mendalam.
Salah satunya adalah Zahrah Mahfudzah Firdaus, lulusan Program Sarjana Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,90, wajahnya memancarkan keteduhan saat namanya diumumkan sebagai salah satu wisudawan terbaik. Ia mengaku tak pernah membayangkan akan berada di titik ini.
Saat diwawancarai, Zahrah berbagi cerita bahwa tantangan terbesarnya selama ini bukanlah tugas kuliah, melainkan menjaga konsistensi di tengah rasa malas yang sesekali hadir.
“Saya selalu ingat, masa kuliah ini adalah jawaban dari doa-doa yang dulu saya panjatkan. Saya sempat gap year dua tahun sebelum akhirnya bisa kuliah, jadi setiap hari di kampus adalah bentuk syukur saya,” tuturnya lembut.
Kenangan akan penantian dua tahun itu menjadi pengingat halusnya untuk terus menghargai setiap kesempatan belajar.
Baginya, perjalanan di FISIP adalah proses menemukan diri. Ia sangat berterima kasih atas bimbingan para dosen, namun inspirasi terbesarnya tetap kedua orang tua.
“Mereka alasan saya untuk terus melangkah. Saya ingin mereka selalu bangga,” ucapnya dengan mata berkaca, menahan haru.
Zahrah juga menitipkan pesan yang ia pegang teguh untuk mahasiswa lain.
“Jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain. Kalau terus membandingkan diri, kita akan lupa menghargai diri sendiri. Fokus saja pada perjalananmu, karena setiap orang punya waktunya masing-masing,” pesannya.
Cerita serupa, namun dengan nuansa berbeda, hadir dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Seorang wisudawati terbaik dari Program Studi Statistika, yang memilih untuk tetap rendah hati dan tidak disebutkan namanya, berbagi kisahnya.
Dengan IPK mengesankan 3,97, ia mengaku perasaannya begitu campur aduk, bahagia sekaligus terharu, saat namanya dipanggil.
Jika Zahrah belajar konsistensi dari rasa syukurnya, tantangan terbesar bagi lulusan FST ini adalah menemukan kenyamanan dalam diri sendiri. Ia harus belajar berdamai dengan keraguan dan membangun rasa percaya diri.
“Melawan rasa takut dan belajar percaya diri itu nggak mudah. Tapi aku belajar untuk terus bersosialisasi, membuka diri, dan percaya bahwa setiap orang punya prosesnya masing-masing.”
Seperti Zahrah, ia pun menyandarkan pencapaiannya pada dukungan orang-orang terkasih yang tak pernah putus.
“Orang tua, keluarga, dan teman-teman statistika adalah alasan kenapa aku bisa sampai di titik ini,” tuturnya penuh terima kasih.
Pesannya untuk mahasiswa lain pun mengalir dari pengalaman batinnya sendiri, sederhana namun sarat makna.
“Jangan takut capek atau gagal. Gagal itu bukan akhir, tapi bagian dari proses menuju hal yang lebih besar. Terus jalan, terus percaya sama diri sendiri,” tutupnya.
Kisah ini adalah cerminan indah bahwa setiap toga menyimpan ceritanya sendiri. Ada pembelajaran tentang kesabaran, penerimaan diri, dan kekuatan yang tumbuh dari rasa syukur.
Saat nama mereka dipanggil, yang mereka bawa pulang bukan hanya ijazah dan gelar, melainkan kebanggaan tulus, rasa terima kasih yang tak terhingga, dan bekal keyakinan untuk memulai babak kehidupan yang baru.
Author : Winda
Editor : Khaishya

