M (25), seorang perempuan, mulanya tertarik membuka diri untuk menjalin hubungan romantis dengan Wawan—bukan nama sebenarnya—teman yang sudah ia kenal selama dua tahun. Salah satu kaki M diamputasi karena sakit kanker yang dideritanya, menyebabkan ia menjadi penyandang tuna daksa. Hal itu berpengaruh pada rasa percaya dirinya saat berhubungan dengan lelaki.
“Saya sering berpikir, lelaki yang mendekati saya paling sekadar penasaran karena kondisi fisik saya yang berbeda. Namun Wawan selalu tampak sopan, jadi saya mulai percaya kepadanya,” kisah M.
Wawan mengajak M berlibur ke rumah orang tuanya yang berlokasi dekat pantai dengan mengendarai mobil pribadi Wawan. Rumah itu berjarak dua jam dari tempat tinggal M. Sesampainya di sana, didapati rumah masih kosong, karena orang tuanya belum kembali dari luar kota. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, sampai Wawan mulai menjamah tubuh M tanpa persetujuan. Dengan gugup dan sangat kaget, M menolak dan menepis tangan Wawan/
“Saya bilang, jangan, saya bukan wanita seperti itu. Saya tetap melawan tapi kalah. Mau teriak tidak bisa. Akhirnya saya nggak bisa berbuat apa-apa. Cuma bisa diam dan nangis di dalam hati,” kisah M sambil menangis.
M minta Wawan untuk mengantarkannya pulang, tapi Wawan tak memenuhinya dengan dalih orang tuanya akan kembali sebentar lagi. Situasi M lemah karena ia berada di wilayah yang asing baginya dan nyaman bagi Wawan. Selang beberapa jam, orang tua Wawan datang, M berkenalan dengan mereka dan merasa lebih aman. Di hadapan orang tua Wawan, M berpura-pura baik-baik saja dan tidak menceritakan kejadian yang baru dialaminya karena tak ingin merepotkan orang tua Wawan yang baru kembali dari luar kota.
Orang tua Wawan menawarkan M untuk menginap dan menyiapkan kamar khusus untuk M, lalu M menerima tawaran tersebut. Malam berlalu dengan aman dan M bisa bernafas lega. Namun keesokan paginya ketika Wawan mengantarkan M pulang, Wawan menghentikan mobilnya di tepi pantai dan kembali melecehkan M secara seksual. M kembali melawan perlakuan Wawan tersebut, tapi dengan keterbatasan fisiknya, terkurung di dalam mobil yang dikemudikan oleh Wawan, berada jauh dari lingkungan yang dikenalnya, membuat M lagi-lagi tak berdaya.
Peristiwa itu membuat M terpukul. Selama dua minggu, ia mengurung diri di rumah dan tak mau berhubungan dengan dunia luar. M tidak berani menceritakan hal tersebut kepada ibunya maupun orang-orang di sekitarnya. Selain tak ingin menyusahkan orang lain, terselip pula kekhawatiran bahwa ia hanya akan disalahkan, sebab bagaimanapun ia setuju pergi dengan Wawan. Akhirnya sekian lama M menutup penderitaannya rapat-rapat.
Sedikit demi sedikit, M berusaha bangkit dan fokus kepada hal yang dapat mengembangkan dirinya. Namun rasa trauma dari kejadian tersebut terus membayang-bayangi M.
“Semenjak kejadian itu, saya jadi bener-bener nggak percaya sama laki-laki manapun. Apalagi saya sadar diri kondisi fisik saya begini, saya kira nggak bakal ada laki-laki yang bakal tulus ke saya,” ucap M bernada putus asa.
Sikap M yang memilih diam cukup lazim dilakukan korban kekerasan seksual. Sebab alih-alih mendapatkan perlindungan, korban kerap selalu dipojokkan dan disalahkan. Situasi perempuan penyandang disabilitas bahkan selalu berkali lipat lebih rentan. Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad yang juga seorang penyandang disabilitas menyatakan posisi perempuan penyandang disabilitas lebih rentan lagi ketimbang lelaki penyandang disabilitas.
“Misalnya banyak perempuan penyandang disabilitas yang gagal mendapatkan pekerjaan karena perusahaan tetap mendahulukan laki-laki penyandang disabilitas untuk memenuhi kuota afirmasi sebesar 2 persen yang telah ditetapkan undang-undang. Secara umum masih banyak lagi diskriminasi berlapis yang dialami perempuan penyandang disabilitas, yang kerap dibarengi dengan tindakan kekerasan, baik verbal, fisik, maupun seksual. Dalam kasus kekerasan seksual, pelaku menganggap perempuan penyandang disabilitas tidak berdaya melapor kepada aparat penegak hukum,” ujar Bahrul Fuad, sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara.
Diskriminasi Berlapis Kepada Perempuan Disabilitas .
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sedikitnya terjadi 105 kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan penyandang disabilitas sepanjang 2023. Jumlah kasus terungkap biasanya hanyalah puncak gunung es saja, yang artinya masih banyak kemungkinan kasus tak tercatat karena korban takut atau tak memiliki akses mengadukan kekerasan yang dialaminya. Korban kekerasan seksual seperti M juga biasanya dihantui kecemasan akan dianggap mengumbar aib mereka sendiri dan malah kembali mendapatkan diskriminasi.

Dari 105 kasus yang dicatat Komnas Perempuan, perempuan dengan disabilitas mental merupakan kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan yaitu mencapai 40 korban. Perempuan penyandang disabilitas sensorik menjadi kelompok kedua yang mengalami kekerasan seksual terbanyak yakni 33 korban. Disabilitas sensorik terdiri dari disabilitas netra, disabilitas wicara, dan disabilitas rungu. Perempuan penyandang disabilitas intelektual menjadi kelompok ketiga yang paling banyak mendapatkan kekerasan dengan 20 korban. Sedangkan perempuan penyandang disabilitas fisik menempati kelompok keempat yang paling banyak mendapatkan kekerasan dengan jumlah korban 12.
Sejumlah kasus yang pernah didampingi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DKI Jakarta sepanjang 2023 memperlihatkan bagaimana diskriminasi berlapis dialami perempuan penyandang disabilitas.
“Misalnya ada kasus perempuan tuli usia 16 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh tetangganya. Korban tidak bisa bahasa isyarat dan tidak bisa membaca dan menulis. Artinya sebelum menjadi korban kekerasan seksual pun, ia sudah mengalami diskriminasi sebab sampai usia sebesar itu tidak pernah difasilitasi untuk mendapatkan akses pendidikan yang memadai,” tutur Ketua Umum HWDI, Revita Alvi.
Kasus lain yang pernah didampingi HWDI adalah seorang perempuan dengan disabilitas grahita usia 18 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh laki-laki yang dikenalnya melalui aplikasi pertemanan. Laki-laki tersebut mengajak korban bertemu dan mengajaknya ke hotel. Dalam kasus ini perangkat teknologi yang tersedia tampaknya belum cukup melindungi penyandang tuna grahita dalam pengambilan keputusan-keputusan yang bisa berdampak buruk bagi dirinya.
“Ada pula kasus anak kelas 5 SD penyandang disabilitas tuli yang mengalami pelecehan seksual oleh gurunya sendiri. Tapi sekolah malah memberi keterangan bahwa anak tersebut memang genit dan ganjen sehingga membuat ibu dan korbannya tersudut,” tutur Revita.
Contoh-contoh kasus yang diungkapkan Revita memberikan sekelumit gambaran betapa berat diskriminasi berlapis yang dialami perempuan penyandang disabilitas. Organisasi seperti HWDI berupaya memberikan advokasi, pemberdayaan dan pendampingan hukum kepada para perempuan penyandang disabilitas ini, baik sebagai korban maupun pelaku.
HWDI yang berdiri pada 1997 saat ini memiliki 32 Pengurus Daerah di tingkat provinsi dan 95 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota yang terdiri dari ragam disabilitas fisik, netra, tuli, intelektual dan mental. HWDI tentu tak bisa bergerak sendiri. Setiap elemen masyarakat bertanggung jawab untuk berkontribusi memfasilitasi perempuan penyandang disabilitas seperti M agar memiliki hidup yang berkualitas, termasuk kesempatan memiliki hubungan yang sehat dan bebas dari kekerasan seksual. ***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.
Penulis/ Fiqri Haikal- LPM Extama Univ. Bina Bangsa