
Extama – Rencana eksploitasi nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu penolakan keras dari masyarakat lokal dan komunitas pecinta lingkungan.
Kawasan yang dikenal sebagai salah satu destinasi bahari terbaik dunia ini dikhawatirkan akan mengalami kerusakan ekosistem serius jika proyek ekstraksi mineral tersebut tetap dijalankan.
Kekhawatiran publik mencuat setelah munculnya informasi tentang penerbitan lisensi pertambangan bagi sejumlah perusahaan di Pulau Waigeo, salah satu pulau utama dalam gugus Raja Ampat. Padahal, wilayah ini berstatus sebagai area konservasi dengan ekosistem laut dan hutan tropis yang sangat berharga.
Raja Ampat merupakan rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna endemik serta memiliki terumbu karang yang diakui sebagai salah satu yang terindah di dunia. Karena itu, potensi kerusakan akibat aktivitas pertambangan menjadi sorotan tajam.
Yohana Mambrasar, tokoh masyarakat lokal yang turut serta dalam aksi penolakan di Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat, menegaskan, “Raja Ampat harus tetap sebagai kawasan konservasi, bukan area eksploitasi. Penghidupan kami bergantung pada ekosistem laut dan hutan, bukan deposit nikel.”
Organisasi lingkungan juga menyampaikan penolakan mereka, menyoroti dampak jangka panjang aktivitas pertambangan terhadap biota laut, kerusakan terumbu karang, dan ancaman terhadap kearifan lokal serta keberlangsungan hidup masyarakat adat Papua.
Selain risiko pencemaran air dan udara, pertambangan juga berpotensi menimbulkan konflik agraria serta merusak industri pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Andi Tawakal dari Koalisi Laut Lestari menekankan, “Jangan korbankan masa depan berkelanjutan demi keuntungan sesaat. Raja Ampat adalah warisan global yang tak ternilai.”
Informasi terbaru menunjukkan persoalan ini lebih kompleks dari yang diperkirakan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua mengungkapkan adanya empat lisensi tambang nikel yang telah diterbitkan di wilayah Papua.
Wilayah tersebut tiga di antaranya berada di pulau-pulau kecil sekitar Raja Ampat, yaitu Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Situasi makin pelik ketika Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, mengkritik sistem otoritas perizinan tambang yang dikendalikan pemerintah pusat, sehingga menyulitkan pemerintah daerah untuk bertindak terhadap aktivitas yang dicurigai merusak lingkungan.
Respon publik pun semakin menguat. Berbagai bentuk protes digelar, termasuk aksi demonstrasi pada forum Indonesia Critical Minerals Conference yang disertai seruan “Save Raja Ampat” dan “Papua Bukan Tanah Kosong.”
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, turut menyerukan agar Presiden Prabowo segera menghentikan ekspansi tambang di kawasan tersebut.
Menanggapi tekanan publik, pemerintah pusat mulai mengambil langkah. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan akan melakukan inspeksi langsung ke lokasi tambang di Raja Ampat dan melakukan penilaian komprehensif atas aktivitas yang berjalan.
Ia juga menegaskan akan menindak secara hukum jika ditemukan pelanggaran dalam operasi pertambangan nikel di wilayah tersebut.
Sekretaris Kabinet, Teddy, menambahkan bahwa isu ini tengah ditangani langsung oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dan penyelesaiannya menjadi prioritas pemerintah.
Raja Ampat, yang berada di jantung segitiga karang dunia (coral triangle), selama ini dikenal karena pesona alam dan kekayaan biodiversitasnya yang mengundang wisatawan mancanegara.
Kini, masa depan kawasan ini berada di persimpangan penting antara agenda pembangunan ekonomi dan komitmen menjaga kelestarian lingkungan.
Author : Winda
Editor : Khaishya