
Extama – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menunjukkan pergerakan fluktuatif di tengah tekanan global yang meningkat.
Pada Jumat (25/4/2025), rupiah sempat dibuka menguat sebesar 58 poin atau 0,34% ke level Rp16.815 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.873.
Namun, penguatan tersebut tidak bertahan lama. Di akhir perdagangan, rupiah ditutup melemah tipis sebesar 1 poin atau 0,01% ke level Rp16.872,5 per dolar AS.
Pelemahan rupiah terjadi meskipun indeks dolar AS tercatat menurun sebesar 0,44% ke posisi 99,4.
Di kawasan Asia, pergerakan mata uang bervariasi. Yen Jepang dan dolar Singapura mencatatkan penguatan, sementara won Korea dan yuan China mengalami pelemahan serupa dengan rupiah.
Stabilitas Rupiah Jadi Fokus BI di Tengah Ketidakpastian Global
Menanggapi gejolak pasar global, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur yang digelar pada 23 April 2025.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan risiko ketidakpastian global yang dipicu oleh eskalasi perang dagang antara AS dan China.
“Stabilitas nilai tukar menjadi prioritas utama dalam jangka pendek,” ujar Perry.
Meski inflasi domestik masih terkendali di level 1,03% pada Maret 2025, BI akan terus memantau perkembangan global sebelum memutuskan langkah lanjutan terkait kebijakan moneter.
Tarif Impor AS Picu Negosiasi Diplomatik
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia merespons kebijakan tarif proteksionis terbaru yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.
Kebijakan tersebut mencakup pengenaan tarif hingga 32% terhadap produk dari 180 negara, termasuk Indonesia. Komoditas ekspor utama seperti tekstil, elektronik, dan hasil pertanian menjadi sasaran utama kebijakan tersebut.
Guna mengurangi dampak terhadap neraca perdagangan dan sektor industri, Indonesia menempuh langkah diplomatik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memimpin negosiasi dengan pemerintah AS untuk menciptakan hubungan dagang yang lebih adil.
Dalam negosiasi tersebut, Indonesia menawarkan peningkatan impor produk asal AS hingga USD 19 miliar, pelonggaran hambatan non-tarif, serta insentif fiskal tertentu.
Langkah ini diharapkan dapat mencegah pemberlakuan tarif penuh yang berpotensi merugikan ekspor nasional.
Meski tekanan eksternal meningkat, pemerintah tetap optimistis terhadap prospek ekonomi Indonesia pada 2025.
Target pertumbuhan ekonomi nasional dipatok di kisaran 5%. Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan berada di level 4,7%.
Untuk menjaga pertumbuhan, pemerintah berkomitmen memperkuat permintaan domestik, memperbaiki iklim investasi, serta menyempurnakan regulasi agar lebih adaptif terhadap dinamika global.
Lebih dari sekadar angka, tantangan ekonomi saat ini merupakan cerminan dari kebutuhan mendesak untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia.
Di tengah gelombang proteksionisme, Indonesia memiliki peluang untuk tampil sebagai mitra dagang yang stabil, terbuka, dan cerdas dalam berstrategi.
Seperti peribahasa lama “kita memang tidak bisa mengendalikan arah angin, tetapi kita bisa mengatur layar”.
Dan saat ini, layar ekonomi Indonesia tengah diarahkan menuju diplomasi strategis, ketahanan struktural, dan transformasi yang lebih tangguh menghadapi dunia yang berubah cepat.
Author : Alya
Editor : Khaishya