
Extama – Di Indonesia, penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah telah menjadi masalah serius yang mengancam stabilitas politik dan kualitas demokrasi.
“Sepuluh tahun dari sekarang, wajah hukum Indonesia adalah sandiwara. Tiap persidangan adalah panggung opera, dituntun oleh kitab undang-undang. Tapi naskah skenario yang dipentaskan sebagai tontonan, KPK jika pun masih ada, hanya serupa perrobotan yang berdebu, begitu juga lembaga-nlembaga baru yang dibentuk hanya demi meramaikan jalan cerita.” ujar Najwa Sihab.
Salah satu faktor krusial dalam penurunan ini adalah persepsi bahwa pemerintah bertindak secara semena-mena tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Oleh karena itu, komunikasi politik memiliki peran yang sangat penting dalam menanggapi tantangan ini dan membangun kembali kepercayaan publik.
Rakyat merasa bahwa pemerintah sangat mementingkan dirinya sendiri dibandingkan untuk rakyatnya. Serta peraturan-peraturan yang semena-mena membuat rakyat semakin melarat.
Dimata rakyat, dunia politik sudah buruk. Tetapi, meskipun sudah dicap buruk oleh rakyat, pemerintahan semakin-kesini
semakin berambisi untuk mendapatkan jabatan didalam dunia politik.
Contoh kasus dalam dunia politik yang melanggar etika yaitu kasus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, kasus Ketua DPR Ade Komarudin, dan kasus Ketua DPD Irman Gusman.
Selain kasus tersebut, kasus etika yang sering mengemuka dikalangan legislatif, seperti: anggota legislatif yang
bermain game saat sidang paripurna, menonton film porno, berantem sesama anggota dewan, tidur saat paripurna, korupsi, bolos dan adanya absensi istimewa (Yunus, 2014).
Problem pelanggaran etika pejabat negara menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga tersebut, misalnya dalam lingkup kekuasaan kehakiman menaruh kecurigaan terhadap putusan,
bisa jadi putusan yang ditetapkan merupakan produk hasil kompromi politik.
Misalnya berdasarkan hasil survei indo Barometer (2020), DPR dan DPD berada pada posisi terendah (kurang dipercaya masyarakat) dengan skor 54,3% untuk DPD dan 44,8% untuk DPR. Hal ini menunjukkan bahwa kurang lebih 50% responden atau rakyat yang tidak mempercayai kinerja lembaga negara tersebut.
Menyadari bahwa pelanggaran tersebut merusak sistem ketatanegaraan dan menghancurkan sendi kewibawaan negara, maka perlu re-desain dalam ketentuan etika dan penegakkannya dengan membentuk peradilan etik yang independen dan imparsial.
Etika seharusnya mengajarkan manusia dan menekankan setiap individu bagaimana mengikuti dan mengambil ajaran moral atau bagaimana seseorang bisa mengambil sikap dan memastikan tindakan apapun yang tempuh dengan senantiasa bersandarkan pada nilai-nilai moral (Chakim, 2014).
Selain itu, penyebaran informasi yang salah dan hoaks melalui media sosial telah memperburuk situasi dengan menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap informasi resmi dari pemerintah.
Hoaks politik dapat menyebar cepat dan merusak reputasi institusi pemerintah. Serta retorika politik yang memecah belah dan menghasut meningkatkan ketegangan sosial dan mengurangi rasa percaya rakyat terhadap lembaga-lembaga demokratis. Polarisasi ini sering kali diperparah oleh media sosial yang memperkuat bias konfirmasi.
Pemerintah diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan publik dan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia. Kepercayaan publik adalah elemen kunci dalam menciptakan pemerintahan yang stabil dan demokratis.
Komitmen pemerintah dalam meningkatkan transparansi, melibatkan masyarakat secara aktif, melawan disinformasi, dan mempraktikkan komunikasi yang inklusif menjadi kunci keberhasilan dalam merestorasi kepercayaan publik. Dengan memastikan bahwa informasi disampaikan dengan jelas dan terbuka, bahwa masyarakat merasa didengar dan dihargai, serta bahwa retorika politik lebih mempersatukan daripada memecah belah, pemerintah dapat membangun hubungan yang lebih erat dengan rakyatnya.
Dengan demikian, peningkatan kepercayaan publik bukan hanya menjadi tujuan akhir dalam upaya pembangunan politik, tetapi juga merupakan sarana untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan stabilitas yang kokoh dalam menjalankan roda pemerintahan.
Serta kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah perlu dipergunakan sepenuhnya dan sebesar-besarnya untuk melayani kebutuhan rakyat. Sebab rakyat yang memiliki kedaulatan, kedaulatan itu diberikan mandatnya kepada pemerintah, untuk menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat.
Atas mandat dan amanah yang diberikan tersebut, pemerintah mendapat gaji, honor, tunjangan, dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Bahkan, dengan bahasa lain, seluruh biaya dan keperluan hiduppejabat pemerintah dibiayai oleh uang dari rakyat.
Dengan begitu, maka pemerintah perlu membuat keputusan, kebijakan, dan program serta kegiatan yang diorientasikan pada kepentingan dan kebutuhan publik tanpa mempertimbangkan untuk mendapat keuntungan (benefit).
Author – (Ine/Ext)
Editor – (Waty/Ext)